Aku yang pada saat itu masih duduk di
bangku kelas 2 SMP memutuskan untuk ikut bersama kakek yang mengajakku untuk
tinggal bersamanya. Pada saat itu ibuku melarangku untuk pergi, tapi karena aku
yang memiliki rasa penasaran yang sangat besar membuatku semakin ingin pergi.
Sudah hal yang lumrah jika seorang ibu melarang anaknya pergi jauh dari orangtuanya
apalagi dengan kondisi tempat tinggal antara orangtuaku dan kakekku bukanlah
termasuk jarak yang bisa dijangkau dengan mudah. Jarak yang dipisahkan oleh
lautan luas yang membuat orangtua khawatir terhadapku. Namun hal itu tidak
menyurutkan niatku untuk pergi, aku tetap bersikeras untuk tinggal bersama
kakek.
Aku berjanji akan menjadi anak yang
membanggakan mereka. Akhirnya aku pindah sekolah, dan melanjutkan sekolahku di
salah satu SMP di Sulawesi Tenggara. Aku yang masih baru sangat sulit menyesuaikan kondisi tempat
tinggal yang sangat jauh berbeda. Lingkungan yang membuat aku kesulitan
menyesuaikan diri. Walaupun itu sulit, aku terus mencoba berusaha menjadi salah
satu bagian dari mereka.
Aku tinggal di daerah yang masyarakatnya
memiliki pemikiran dan pengetahuan agamanya masih sangat kurang, walaupun ada
tapi hanya sebagian kecil saja yang benar-benar paham. Bahkan lingkungan
sekolah pun juga demikian, para remaja yang saat itu merasa belum bisa untuk
memakai jilbab dengan terang-terangan berkata bahwasanya jilbab itu sesuatu
yang tidak wajib, dan mereka akan berjilbab kalo sudah mampu. Sama dengan apa yang
aku pikirkan, aku memang bersekolah tanpa memakai jilbab, karena aku pikir tak
apa jika aku sekolah tanpa menggunakan jilbab, toh tidak ada yang
mengharuskanku untuk memakai jilbab. Pengetahuan tentang agama yang masih
sangat kurang dan itu yang selalu membuatku memikirkan hal-hal seperti itu. Beberapa
bulan sampai akhirnya aku naik kelas 3 SMP, anak dari adik ayahku tinggal
bersamaku. Aku memang tak mengenal dia sebelumnya karena hanya orangtuaku yang
tinggal di Bandung, sementara saudara-saudara ayahku yang lain tinggal di
Sulawesi. Aku hanya kenal saudara-saudara dari ibuku yang memang semuanya
tinggal di Bandung.
Aku sangat senang ketika ada yang
menemaniku berbicara, yang bisa aku ajak curhat, walaupun sepupuku lebih tua
dariku. Aku sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Aku bukan hanya sebatas
mengagumi sepupuku, selain dia cantik dia juga memiliki sesuatu hal yang aku
tak miliki. Sesuatu itu adalah pengetahuan tentang ilmu agama. Dia yang paham
dan mengerti mengajariku berbagai hal tentang menutup aurat, dan kewajiban
seorang muslim untuk berjilbab. Namun saat itu semuanya masih cukup berat
bagiku, karena aku masih tak sepenuhnya paham arti dari berjilbab itu sendiri.
Walaupun aku sudah mengetahui hal tersebut, jika memakai jilbab itu wajib namun
tetap saja aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi kewajiban
itu. Hampir setiap saat aku selalu memikirkan tentang semua yang sepupuku
katakan. Selalu terngiang-ngiang di telingaku. Akhirnya aku memutuskan untuk
melangkah maju dengan memulai memakai jilbab.
Tak terasa waktu pun bergulir begitu
cepat, sampai-sampai aku tak tahu sudah berapa lama aku tak bertemu kedua
orangtua dan adik-adikku. Aku akhirnya lulus SMP dan masuk di dunia yang baru
yaitu dunia SMA. Saat itulah aku mulai memakai jilbab. Hari-hari di sekolahku
berjalan seperti biasa, aku mulai menyukai hari-hari dimana aku berjilbab. Tapi
semua itu tidak bertahan lama, aku masih sering keluar rumah tanpa menggunakan
jilbab. Aku pikir mungkin tak apa jika sekali-kali keluar rumah tak memakai
jilbab. Hal itu terus berlanjut sampai aku lulus SMA.
Setelah aku lulus SMA, akhirnya aku
memilih melanjutkan studiku di salah satu universitas di daerahku. Aku sekarang
sedang menjalani aktivitas perkuliahan di jurusan Matematika Program studi Matematika
di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada awalnya aku menjalani
aktivitas kuliah seperti mahasiswa pada umumnya. Aku kuliah memakai jilbab, aku
pikir tak ada yang berubah dalam diriku. Sampai akhirnya aku akrab dengan yang
namanya musholla. Saat awal semester satu, aku selalu datang di musholla saat-saat
jam kuliah kosong. Menyempatkan waktu untuk beristirahat, membaca, semua itu
aku habiskan di musholla bersama teman-teman mahasiswa yang lain. Kebersamaan
sesama akhwat yang mengerti dan paham akan ilmu agama selalu membuat hatiku
merasa nyaman dan tenang, karena aku berada diantara orang-orang yang baik.
Sejak saat itu aku semakin tertarik
dengan ilmu agama. Aku juga mulai membiasakan diri untuk memakai jilbab dimana
dan kapanpun aku berada. Semua berjalan sangat indah sesuai dengan harapanku,
aku pikir aku akan bisa menjalani hari-hariku dengan indah bersama jilbab yang
aku cintai. Sampai suatu ketika semua itu perlahan-lahan mulai memudar saat aku
bertemu dengan seorang ikhwa yang sebenarnya adalah senior angkatan 2009 di
Program Studiku. Awalnya aku mengenal dia hanya sebatas junior dan senior, tapi
karena dia adalah seorang asisten laboratorium membuat kami sering bertemu saat
praktikum. Kesan pertama bertemu memang tak begitu baik, karena pada saat itu
aku melihat bahwa dia adalah orang yang kaku, cuek, dan galak. Bahkan saat
praktikum aku sempat dimarahi olehnya. Hal itu makin membuat aku semakin tak
memiliki simpati padanya. Sampai suatu ketika aku pingsan karena sebuah insiden
saat praktikum, aku melihat dia dalam sosok yang sangat perhatian. Dia begitu
mengkhawatirkan keadaanku. Saat itulah aku mulai memperhatikannya terus dan
terus sampai akhirnya aku sadar bahwa aku telah memiliki perasaan kepadanya.
Saat itulah aku
mulai tak memperhatikan lagi tentang apa yang ingin aku tuju, yaitu tentang
bagaimana seorang muslimah seharusnya. Itu semua aku tinggalkan dan tanpa sadar
aku mulai jauh dari musholla. Kadang-kadang aku mencari-cari perhatian di
depannya, walaupun hanya sebatas meminta tolong mengajari tugas, ataupun
mengajariku mengenai mata perkuliahan yang lain, itu semua membuat aku semakin
akrab dan tak ragu jika hanya untuk berbincang-bincang dan bercanda. Sampai
suatu ketika tanpa sadar aku mengatakan perasaanku kepadanya, apa yang aku
rasakan saat di dekatnya, apa yang aku rasakan saat berbicara dengannya, semua
itu tiba-tiba muncul dari pikiranku.
“Aku suka sama kakak, aku merasa nyaman kalo ada di dekat
kakak”
Kakak itu
terdiam sejenak dan kemudian seperti menghela nafas untuk berbicara, akhirnya
dia berbicara dengan nada lembut kepadaku.
“Ade itu anak yang baik, cantik, jujur ceria, tidak
ada yang tidak suka sama ade, tapi harus ade tahu sebenarnya tidak ada pacaran
dalam islam, seharusnya ade tahu
bagaimana batasan-batasan jika berhadapan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya,
bagaimana sebenarnya wanita muslimah itu, coba ade belajar lebih banyak lagi”
Aku hanya diam,
aku yang tidak tahu banyak tentang agama hanya bisa menundukkan kepalaku,
rasanya kepalaku berat, tak tahan lagi membendung air mata yang semakin lama
semakin bayak, dalam isakan tangisku aku menjawab apa yang dikatakannya padaku.
“Kak, aku tahu kalo aku tidak tahu banyak tentang
agama, aku juga tak tahu bagaimana seorang wanita seharusnya, aku juga tak tahu
semua itu, tapi pasti akan ada saat dimana aku tahu semua itu”
“Iya, kakak ngerti. Mulai dari sekarang ade
banyak-banyak belajar perbaiki sikapnya, ingat wanita yang baik adalah wanita
yang berusaha menjaga pesona dirinya hanya untuk seorang lelaki yang akan
bersamanya, bukan menjadi pesona setiap lelaki yang melihatnya”
“Iya kak, aku pasti berusaha menjadi wanita yang
benar-benar muslimah, menjadi bagaimana seorang akhwat yang baik”
“Iya, semangat!! Keep istiqomah, yakin Allah selalu
bersama orang-orang yang baik”.
Walaupun dengan suara terisak-isak aku
tetap menguatkan diriku. Saat itulah aku berpikir harus bagaimana seharusnya
aku melangkah. Aku harus menentukan jalan apa yang harus aku ambil, aku tak
boleh terus-terusan seperti ini dan aku harus mencari jati diri agar aku tak
salah nantinya. Setelah kejadian itu aku tahu bahwa ternyata dia merupakan ikhwa di salah
satu lembaga dakwah kampus tidak mungkin akan tertarik pada orang sepertiku
yang pengetahuan tentang agamanya masih kurang. Yang masih belum mengerti
bagaimana seharusnya seorang muslimah itu.
Memasuki semester dua aku mulai
mengikuti organisasi keagamaan untuk mencari tahu dan belajar tentang ilmu
agama. Aku mengikuti salah satu lembaga dakwah kampus dimana kakak itu juga
berada. Namun semenjak selesai praktikum aku tak pernah lagi bertemu dengannya
sampai ketika dia telah di wisuda. Aku sedih karena tak akan bisa melihatnya
lagi, walau aku berada dalam satu organisasi yang sama tapi aku masih baru,
masih banyak yang tidak aku ketahui. Lagi pula dia sudah menjadi alumni, jadi
kepengurusan lembaga juga telah berganti. Semakin tak bisa aku menjangkaunya.
Saat itu aku mulai untuk tidak
memikirkan kakak itu lagi, aku mulai membuang semua pikiranku terhadapnya, dan
mulai fokus untuk kembali seperti aku yang dulu. Berusaha mengembalikan
semangat-semangat yang sudah lama memudar karena aku yang tak bisa
mengendalikan perasaanku. Dalam diamku aku tak henti-hentinya memikirkan apakah
aku bisa menjadi seorang akhwat yang baik? Apakah aku bisa memberikan yang
terbaik bagi diriku sendiri dan orang lain? Walau masih sering muncul keraguan dalam
hatiku tentang diriku ini. Kerap kali aku begitu iri melihat akhwat-akhwat yang
bisa menutup auratnya dengan baik, yang memiliki sikap lemah lembut, yang tahu
batasan-batsannya dalam pergaulan, aku begitu iri pada mereka yang bisa
menuntut ilmu agama, mereka yang mampu menjaga keindahan dirinya dengan jilbab.
Aku yang mulai menata kembali pikiranku,
hatiku, untuk kembali mencari dan memahami bagaimana islam seharusnya, kadang
merasa terbebani dengan jalan yang telah aku pilih, aku merasa tertekan, dan
kadang itu semua membuat aku tak sadar dengan pikiran yang mulai berkabut entah
apa dan mengapa. Aku kadang berpikir harus seperti apa aku? Pikiran itu terus
ada sampai aku mulai masuk di semester tiga. Saat itu aku mulai mencoba
menerima apa yang aku ketahui, aku mulai memahami semua yang aku pelajari satu
persatu. Aku mulai menerapkannya pada diriku. Semua berawal dari kemauan dan
alhamdulilah, aku merasa menjadi wanita paling bahagia saat aku telah beljilbab
dengan baik. Ternyata jalan menuju kebahagian itu tersembunyi di balik kesucian
pengetahuan dan kejernihan wawasan. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada
Allah swt yang telah membimbingku hingga saat ini, kepada akhwat-akhwat yang
mendorongku dan menemani jalanku mencari ridho-Nya.
Dengan proses
yang sangat panjang akhirnya jilbab menjadi prioritas utama dalam hari-hari dan
hidupku. Aku juga menemukan hal yang sangat berarti yang membuat aku tak ingin
melepas jilbabku, walaupun sering kali aku dilema oleh perasaan dimana masih
banyak pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana jilbab seharusnya, bagaimana
seorang wanita muslimah bersikap dengan jilbabnya, yang kemungkinan besar
setiap orang mengalaminya. Tapi aku selalu istiqomah dan bersyukur kepada Allah
dengan apa yang telah aku alami. Dan karena itulah saat jilbab mengisi dan
menghiasi hari-hari dalam hidupku selalu ada kata ya untuk senyuman indah
terhadap sesama, selalu ada kata ya untuk ucapan-ucapan baik yang membangun
persahabatan, selalu ada kata ya untuk selalu bersanding bersama al-quran,
senantiasa berdzikir, dan selalu ada kata tidak untuk menyia-nyiakan usiaku
dengan hal yang tak berguna, selalu ada kata tidak untuk mencari-cari kesalahan
orang lain, selalu ada kata tidak untuk tenggelam dalam kenikmatan dan hawa
nafsu, itulah aku merasa menjadi wanita paling bahagia dengan jilbabku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar