Minggu, 20 April 2014

JILBABKU MAHKOTAKU


 
Aku yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP memutuskan untuk ikut bersama kakek yang mengajakku untuk tinggal bersamanya. Pada saat itu ibuku melarangku untuk pergi, tapi karena aku yang memiliki rasa penasaran yang sangat besar membuatku semakin ingin pergi. Sudah hal yang lumrah jika seorang ibu melarang anaknya pergi jauh dari orangtuanya apalagi dengan kondisi tempat tinggal antara orangtuaku dan kakekku bukanlah termasuk jarak yang bisa dijangkau dengan mudah. Jarak yang dipisahkan oleh lautan luas yang membuat orangtua khawatir terhadapku. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku untuk pergi, aku tetap bersikeras untuk tinggal bersama kakek.
Aku berjanji akan menjadi anak yang membanggakan mereka. Akhirnya aku pindah sekolah, dan melanjutkan sekolahku di salah satu SMP di Sulawesi Tenggara. Aku yang masih  baru sangat sulit menyesuaikan kondisi tempat tinggal yang sangat jauh berbeda. Lingkungan yang membuat aku kesulitan menyesuaikan diri. Walaupun itu sulit, aku terus mencoba berusaha menjadi salah satu bagian dari mereka.
Aku tinggal di daerah yang masyarakatnya memiliki pemikiran dan pengetahuan agamanya masih sangat kurang, walaupun ada tapi hanya sebagian kecil saja yang benar-benar paham. Bahkan lingkungan sekolah pun juga demikian, para remaja yang saat itu merasa belum bisa untuk memakai jilbab dengan terang-terangan berkata bahwasanya jilbab itu sesuatu yang tidak wajib, dan mereka akan berjilbab kalo sudah mampu. Sama dengan apa yang aku pikirkan, aku memang bersekolah tanpa memakai jilbab, karena aku pikir tak apa jika aku sekolah tanpa menggunakan jilbab, toh tidak ada yang mengharuskanku untuk memakai jilbab. Pengetahuan tentang agama yang masih sangat kurang dan itu yang selalu membuatku memikirkan hal-hal seperti itu. Beberapa bulan sampai akhirnya aku naik kelas 3 SMP, anak dari adik ayahku tinggal bersamaku. Aku memang tak mengenal dia sebelumnya karena hanya orangtuaku yang tinggal di Bandung, sementara saudara-saudara ayahku yang lain tinggal di Sulawesi. Aku hanya kenal saudara-saudara dari ibuku yang memang semuanya tinggal di Bandung.
Aku sangat senang ketika ada yang menemaniku berbicara, yang bisa aku ajak curhat, walaupun sepupuku lebih tua dariku. Aku sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Aku bukan hanya sebatas mengagumi sepupuku, selain dia cantik dia juga memiliki sesuatu hal yang aku tak miliki. Sesuatu itu adalah pengetahuan tentang ilmu agama. Dia yang paham dan mengerti mengajariku berbagai hal tentang menutup aurat, dan kewajiban seorang muslim untuk berjilbab. Namun saat itu semuanya masih cukup berat bagiku, karena aku masih tak sepenuhnya paham arti dari berjilbab itu sendiri. Walaupun aku sudah mengetahui hal tersebut, jika memakai jilbab itu wajib namun tetap saja aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi kewajiban itu. Hampir setiap saat aku selalu memikirkan tentang semua yang sepupuku katakan. Selalu terngiang-ngiang di telingaku. Akhirnya aku memutuskan untuk melangkah maju dengan memulai memakai jilbab.
Tak terasa waktu pun bergulir begitu cepat, sampai-sampai aku tak tahu sudah berapa lama aku tak bertemu kedua orangtua dan adik-adikku. Aku akhirnya lulus SMP dan masuk di dunia yang baru yaitu dunia SMA. Saat itulah aku mulai memakai jilbab. Hari-hari di sekolahku berjalan seperti biasa, aku mulai menyukai hari-hari dimana aku berjilbab. Tapi semua itu tidak bertahan lama, aku masih sering keluar rumah tanpa menggunakan jilbab. Aku pikir mungkin tak apa jika sekali-kali keluar rumah tak memakai jilbab. Hal itu terus berlanjut sampai aku lulus SMA.
Setelah aku lulus SMA, akhirnya aku memilih melanjutkan studiku di salah satu universitas di daerahku. Aku sekarang sedang menjalani aktivitas perkuliahan di jurusan Matematika Program studi Matematika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada awalnya aku menjalani aktivitas kuliah seperti mahasiswa pada umumnya. Aku kuliah memakai jilbab, aku pikir tak ada yang berubah dalam diriku. Sampai akhirnya aku akrab dengan yang namanya musholla. Saat awal semester satu, aku selalu datang di musholla saat-saat jam kuliah kosong. Menyempatkan waktu untuk beristirahat, membaca, semua itu aku habiskan di musholla bersama teman-teman mahasiswa yang lain. Kebersamaan sesama akhwat yang mengerti dan paham akan ilmu agama selalu membuat hatiku merasa nyaman dan tenang, karena aku berada diantara orang-orang yang baik.
Sejak saat itu aku semakin tertarik dengan ilmu agama. Aku juga mulai membiasakan diri untuk memakai jilbab dimana dan kapanpun aku berada. Semua berjalan sangat indah sesuai dengan harapanku, aku pikir aku akan bisa menjalani hari-hariku dengan indah bersama jilbab yang aku cintai. Sampai suatu ketika semua itu perlahan-lahan mulai memudar saat aku bertemu dengan seorang ikhwa yang sebenarnya adalah senior angkatan 2009 di Program Studiku. Awalnya aku mengenal dia hanya sebatas junior dan senior, tapi karena dia adalah seorang asisten laboratorium membuat kami sering bertemu saat praktikum. Kesan pertama bertemu memang tak begitu baik, karena pada saat itu aku melihat bahwa dia adalah orang yang kaku, cuek, dan galak. Bahkan saat praktikum aku sempat dimarahi olehnya. Hal itu makin membuat aku semakin tak memiliki simpati padanya. Sampai suatu ketika aku pingsan karena sebuah insiden saat praktikum, aku melihat dia dalam sosok yang sangat perhatian. Dia begitu mengkhawatirkan keadaanku. Saat itulah aku mulai memperhatikannya terus dan terus sampai akhirnya aku sadar bahwa aku telah memiliki perasaan kepadanya.
Saat itulah aku mulai tak memperhatikan lagi tentang apa yang ingin aku tuju, yaitu tentang bagaimana seorang muslimah seharusnya. Itu semua aku tinggalkan dan tanpa sadar aku mulai jauh dari musholla. Kadang-kadang aku mencari-cari perhatian di depannya, walaupun hanya sebatas meminta tolong mengajari tugas, ataupun mengajariku mengenai mata perkuliahan yang lain, itu semua membuat aku semakin akrab dan tak ragu jika hanya untuk berbincang-bincang dan bercanda. Sampai suatu ketika tanpa sadar aku mengatakan perasaanku kepadanya, apa yang aku rasakan saat di dekatnya, apa yang aku rasakan saat berbicara dengannya, semua itu tiba-tiba muncul dari pikiranku.
“Aku suka sama kakak, aku merasa nyaman kalo ada di dekat kakak”
Kakak itu terdiam sejenak dan kemudian seperti menghela nafas untuk berbicara, akhirnya dia berbicara dengan nada lembut kepadaku.
“Ade itu anak yang baik, cantik, jujur ceria, tidak ada yang tidak suka sama ade, tapi harus ade tahu sebenarnya tidak ada pacaran dalam islam,  seharusnya ade tahu bagaimana batasan-batasan jika berhadapan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, bagaimana sebenarnya wanita muslimah itu, coba ade belajar lebih banyak lagi”
Aku hanya diam, aku yang tidak tahu banyak tentang agama hanya bisa menundukkan kepalaku, rasanya kepalaku berat, tak tahan lagi membendung air mata yang semakin lama semakin bayak, dalam isakan tangisku aku menjawab apa yang dikatakannya padaku.
“Kak, aku tahu kalo aku tidak tahu banyak tentang agama, aku juga tak tahu bagaimana seorang wanita seharusnya, aku juga tak tahu semua itu, tapi pasti akan ada saat dimana aku tahu semua itu”
“Iya, kakak ngerti. Mulai dari sekarang ade banyak-banyak belajar perbaiki sikapnya, ingat wanita yang baik adalah wanita yang berusaha menjaga pesona dirinya hanya untuk seorang lelaki yang akan bersamanya, bukan menjadi pesona setiap lelaki yang melihatnya”
“Iya kak, aku pasti berusaha menjadi wanita yang benar-benar muslimah, menjadi bagaimana seorang akhwat yang baik”
“Iya, semangat!! Keep istiqomah, yakin Allah selalu bersama orang-orang yang baik”.
Walaupun dengan suara terisak-isak aku tetap menguatkan diriku. Saat itulah aku berpikir harus bagaimana seharusnya aku melangkah. Aku harus menentukan jalan apa yang harus aku ambil, aku tak boleh terus-terusan seperti ini dan aku harus mencari jati diri agar aku tak salah nantinya. Setelah kejadian itu aku tahu  bahwa ternyata dia merupakan ikhwa di salah satu lembaga dakwah kampus tidak mungkin akan tertarik pada orang sepertiku yang pengetahuan tentang agamanya masih kurang. Yang masih belum mengerti bagaimana seharusnya seorang muslimah itu.
Memasuki semester dua aku mulai mengikuti organisasi keagamaan untuk mencari tahu dan belajar tentang ilmu agama. Aku mengikuti salah satu lembaga dakwah kampus dimana kakak itu juga berada. Namun semenjak selesai praktikum aku tak pernah lagi bertemu dengannya sampai ketika dia telah di wisuda. Aku sedih karena tak akan bisa melihatnya lagi, walau aku berada dalam satu organisasi yang sama tapi aku masih baru, masih banyak yang tidak aku ketahui. Lagi pula dia sudah menjadi alumni, jadi kepengurusan lembaga juga telah berganti. Semakin tak bisa aku menjangkaunya.
Saat itu aku mulai untuk tidak memikirkan kakak itu lagi, aku mulai membuang semua pikiranku terhadapnya, dan mulai fokus untuk kembali seperti aku yang dulu. Berusaha mengembalikan semangat-semangat yang sudah lama memudar karena aku yang tak bisa mengendalikan perasaanku. Dalam diamku aku tak henti-hentinya memikirkan apakah aku bisa menjadi seorang akhwat yang baik? Apakah aku bisa memberikan yang terbaik bagi diriku sendiri dan orang lain?  Walau masih sering muncul keraguan dalam hatiku tentang diriku ini. Kerap kali aku begitu iri melihat akhwat-akhwat yang bisa menutup auratnya dengan baik, yang memiliki sikap lemah lembut, yang tahu batasan-batsannya dalam pergaulan, aku begitu iri pada mereka yang bisa menuntut ilmu agama, mereka yang mampu menjaga keindahan dirinya dengan jilbab.
Aku yang mulai menata kembali pikiranku, hatiku, untuk kembali mencari dan memahami bagaimana islam seharusnya, kadang merasa terbebani dengan jalan yang telah aku pilih, aku merasa tertekan, dan kadang itu semua membuat aku tak sadar dengan pikiran yang mulai berkabut entah apa dan mengapa. Aku kadang berpikir harus seperti apa aku? Pikiran itu terus ada sampai aku mulai masuk di semester tiga. Saat itu aku mulai mencoba menerima apa yang aku ketahui, aku mulai memahami semua yang aku pelajari satu persatu. Aku mulai menerapkannya pada diriku. Semua berawal dari kemauan dan alhamdulilah, aku merasa menjadi wanita paling bahagia saat aku telah beljilbab dengan baik. Ternyata jalan menuju kebahagian itu tersembunyi di balik kesucian pengetahuan dan kejernihan wawasan. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah swt yang telah membimbingku hingga saat ini, kepada akhwat-akhwat yang mendorongku dan menemani jalanku mencari ridho-Nya.
Dengan proses yang sangat panjang akhirnya jilbab menjadi prioritas utama dalam hari-hari dan hidupku. Aku juga menemukan hal yang sangat berarti yang membuat aku tak ingin melepas jilbabku, walaupun sering kali aku dilema oleh perasaan dimana masih banyak pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana jilbab seharusnya, bagaimana seorang wanita muslimah bersikap dengan jilbabnya, yang kemungkinan besar setiap orang mengalaminya. Tapi aku selalu istiqomah dan bersyukur kepada Allah dengan apa yang telah aku alami. Dan karena itulah saat jilbab mengisi dan menghiasi hari-hari dalam hidupku selalu ada kata ya untuk senyuman indah terhadap sesama, selalu ada kata ya untuk ucapan-ucapan baik yang membangun persahabatan, selalu ada kata ya untuk selalu bersanding bersama al-quran, senantiasa berdzikir, dan selalu ada kata tidak untuk menyia-nyiakan usiaku dengan hal yang tak berguna, selalu ada kata tidak untuk mencari-cari kesalahan orang lain, selalu ada kata tidak untuk tenggelam dalam kenikmatan dan hawa nafsu, itulah aku merasa menjadi wanita paling bahagia dengan jilbabku.